Bahayanya Politik Labelisasi Masa DOM Aceh




Kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia masih ada, dan terus berlangsung dari waktu ke waktu dengan bentuk-bentuk kekerasan yang tidak berbeda dan berulang sehingga menjadi pola yang umum. Dengan pola kekerasan seperti ini maka kebijakan-kebijakan negara selama periode tersebut ( Soeharto s.d. Megawati) memiliki tujuan politik yang dijalankan secara teknis lewat bentuk operasi-operasi keamanan dan penggunaan sumber daya resmi negara lainnya, termasuk melalui pendirian berbagai pos-pos militer yang tersebar di berbagai wilayah. Keberadaan struktur pengamanan yang meluas seperti ini justru berlangsung seiring terjadinya berbagai bentuk kekerasan, pembakaran rumah-rumah penduduk, penangkapan dan penahanan sewenang-wenangan termasuk dengan penyiksaan terhadap orang-orang yang dituduh anggota GAM maupun terhadap warga masyarakat lainnya yang dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga atau mengetahui keberadaan GAM atau sekedar bertempat tinggal di wilayah yang dianggap lokasi persembunyian GAM. Sebagian diantara mereka dibunuh tanpa proses hukum dan dihilangkan tanpa kejelasan nasib dan keberadaannya.




Meski status DOM itu sudah dicabut dan diikuti permintaan maaf beberapa presiden yang sempat memimpin pemerintahan termasuk petinggi keamanan pemerintah, ternyata tidak otomatis melepaskan masyarakat Aceh dari belenggu kekerasan. Pencabutan status ini juga tidak merubah eskalasi kekerasan terhadap warga sipil di Aceh. Bahkan dalam kurun waktu yang sama jika dibandingkan dengan masa DOM jumlah korban kekerasan yang terjadi lebih besar dari yang terjadi pada masa berlakunya status DOM. Operasi militer tetap dilakukan walaupun dengan penggunaan sebutan jenis operasi yang terus berubah dan dibuat lebih lunak (euphemism). Operasi-operasi inilah yang terus berlangsung sekalipun pada saat yang sama, keputusan politik non militer diambil pemerintah pusat. Bahkan operasi keamanan semacam itu tetap ada meski proses perdamaian diterapkan dalam Kesepakatan Jeda Kemanusiaan dan Kesepakatan Penghentian Permusuhan paska mundurnya Presiden Soeharto. Dengan demikian, memutus mata rantai kekerasan menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan.




Seluruh bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi selama Periode utamanya DOM adalah tindakan-tindakan aparat keamanan menjalankan kebijakan politik represif terhadap masyarakat Aceh yang dituduh bagian dari Gerakan Aceh Merdeka atau terhadap mereka yang dianggap berada pada posisi berseberangan dengan pemerintah. Perkembangan terakhir, pola ini berkembang dengan politik labelisasi. Pada masa Megawati seluruh masyarakat Aceh diharuskan memiliki kartu identitas berwarna merah putih dan berlambang Pancasila. Mereka yang kedapatan tidak memiliki kartu identitas tersebut, akan mengalami kesulitan karena dituduh GAM, kartu tersebut menjadi seperti nyawa pada saat itu. Yang lebih parah lagi, pada awal pemberlakuan keadaan bahaya dengan status Darurat Militer, sejumlah organisasi mahasiswa dan pemuda yang selama ini bekerja untuk hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan dianggap sebagai sayap GAM, bagian dari GAM atau bersimpati terhadap GAM. Politik labelisasi ini berlanjut dengan rangkaian penangkapan, penahanan dan pemenjaraan terhadap sejumlah aktifis pemuda, mahasiswa dan warga biasa.

 

 






Sumber :

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

KontraS

Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu.

Jakarta : KontraS, 2006

 

Bahayanya Politik Labelisasi Masa DOM Aceh Bahayanya Politik Labelisasi Masa DOM Aceh Reviewed by hifarial on 02:32:00 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.