Apa itu UleeBalang, Teuku dan Cut?

 

 

Selain bahasa daerah, pakaian adat juga merupakan identitas kebanggaan nasional atau jati diri suatu daerah. Maka tak heran, jika pakaian adat sering digunakan dalam acara-acara penting dengan tujuan mewakili budaya atau identitas suku bangsa tertentu, seperti halnya kota Serambi Mekkah, Aceh.

Suku yang berada di ujung pulau Sumatera ini memang memiliki pakaian adat khas yang unik. Pakaian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam pakaian ini juga biasa digunakan di kala upacara perkawinan, atau pertunjukan kesenian daerah seperti tarian adat.

Membahas mengenai pakaian adat Aceh, perlu anda ketahui bahwa pakaian adat Aceh juga disebut pakaian Ulee Balang kenapa? karena pada awal mulanya pakaian ini dipakai oleh keluarga Ule balang . Namun kini, busana tersebut dijadikan sebagai pakaian adat tradisional Aceh.

Apa itu Uleebalang?

Ulèëbalang (Melayuhulubalang) adalah kepala pemerintah dalam kesultanan Aceh yang memimpin sebuah daerah atau sagoë, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang atau setingkat Provinsi jika Aceh adalah sebuah negara. Pemegang jabatan Uleebalang digelari dengan gelar 

Teuku untuk laki-laki 

Cut untuk perempuan.

Dan secara adat, Teuku dan Cut hanya dapat diwariskan jika seorang Anak memiliki Ayah bergelar Teuku, jika tidak maka gelar tersebut tidak diwariskan walaupun ibunya seorang Cut.

Melihat secara akar kata perkataan “Uleebalang” sebagaimana yang terdapat dalam bahasa Aceh sama dengan kata “hulubalang” dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hulubalang artinya kepala lasykar, pemimpin pasukan, kepala negeri (district), prajurit pengawal dan polisi desa (dubalang). 

Dalam Hikayat Raja-raja di Indonesia dan Malayu, kata hulubalang ini sering kita jumpai. Ule balang juga memangku panglima tentara Aceh, Uleebalang di samping memangku jabatan panglima tentara, Sultan juga memberi tugas kepada ule balang untuk mengepalai nanggroe yang sekarang disebut kabupaten dan memimpin rakyat di daerahnya. Ia adalah semacam “Sultan” atau “Raja Kecil” yang berkuasa di dalam nanggroe (kerajaannya) 

Sebelum terbentuknya kerajaan Aceh banyak terdapat kerajaan-kerajaan kecil dan merdeka. Masing-masing dari daerah-daerah kecil tersebut memiliki penguasa atau disebut juga raja-raja kecil, raja-raja tersebut menguasai pelabuhan, tanah dan lain-lain di daerahnya. Setelah terbentuknya kerajaan Aceh, para rajaraja kecil itulah yang dijadikan uleebalang. Secara tradisional kekuasaan uleebalang dikukuhkan oleh sultan dengan memberinya piagam yang disebut “sarakata”

“Sarakata” Tersebut mengesahkan kekuasaan uleebalang dan wajiblah ia membayar upeti kepada sultan. Setiap uleebalang yang diangkat pada upacara penabalannya akan dilakukan di dalam (Istana) Sultan Aceh, dengan tanda melepaskan tembakan meriam sebanyak 12 kali. Yang dibubuhi segel yang dinamakan cap siekuerung atau cap sembilan. dan jika istri dari seorang uleebalang melahirkan maka akan dibunyikan meriam sebanyak 9 kali.

Secara adat tugas-tugas yang diwajibkan terhadap uleebalang yaitu:

  • 1.    memelihara agama Islam dengan menolak orang yang hendak memasukkan bid’ah dan menyuruh isi negeri mengamalkan agama Islam,
  • 2.    mengawal agama Islam dan isi negeri agar tidak dibinasakan oleh musuh dan melindungi isi negeri daripada huru-hara, pencuri dan penyamun-penyamun,
  • 3.    membangun negeri, seperti membuat jalan,
  • 4.    menjaga agar hak pemindahan harta kaum muslimin semata-mata atas dasar hukum syara’, menentang kezaliman dan memerintah dengan adil, menegakkan hukum dan syara’ masing-masing menurut perlunya,
  • 5.    memilih pegawai-pegawai termasuk panglima-panglimanya dan sahabat sahabatnya yang berguna dan yang jujur

Uleebalang telah diberikan kekuasaan yang besar oleh Sultan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa ia adalah penguasa tunggal di nanggroe yang dipimpinnya. Wewenang yang besar terhadap nanggroe membuat uleebalang bebas memperluas usahanya dan menjadikan uleebalang sebagai pengusaha atas komoditi tradisional dari daerahnya. Seperti lada, dan juga pinang, Teuku Keumangan yaitu uleebalang di daerah Pidie. Ia memiliki ½ luas lahan dari keseluruhan lahan sawah di Pidie.  Samalanga juga memiliki lahan sawah yang sangat luas. Pada umumnya pemilik lahan tersebut adalah uleebalang, jika ada rakyat yang ingin menggarap sawah maka ia harus menyewa kepada uleebalang kemudian memberikan pajak sawah setiap tahunnya kepada uleebalang.

Uleebalang dan ulama merupakan dua golongan yang berkuasa di Aceh. dalam menjalankan tugasnya mereka saling bahu-membahu.

Samalanga adalah salah satu daerah yang bisa menggambarkan kerukunan antara ulama dan uleebalang. Banyak terdapat dayah-dayah tradisional yang dipelopori oleh ulama, seperti Tengku Chik Samalanga, dayah didirikan tidak terlepas dari bantuan uleebalang. Tak jarang uleebalang menghibahkan sebidang tanah miliknya untuk membangun dayah .

Dalam pemerintahan juga mereka saling berhubungan satu sama lain, karena ulama juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan, seperti imeum mukim dan imuem meunasah namun kedudukan tertinggi berada ditangan uleebalang.

Uleebalang dan ulama merupakan dua golongan yang terpenting dalam masa peperangan Samalanga dengan Belanda. Ulama sebagai golongan yang menyuarakan kepada masyarakat Samalanga mengenai hakikat perang denganBelanda, melalui idologi perang sabil. Di antaranya adalah Tgk Hadji Aron, Tgk Moekib, Tgk Jit, Tgk Djeulanga, Tgk Di Loeeng Keubeue, Tgk Di Pulobaroh, Tgk Di Pakoe, Habib ahmad dan Habib Alooe, Idiologi perang sabil yang diserukan oleh ulama-ulama tersebut mampu mempengaruhi masyarakat Samalanga, sehingga Samalanga memiliki pasukan perang hingga ribuan.

Uleebalang memiliki peran yang besar dalam mengatur jalannya perang. Segala kebutuhan perang diatur oleh uleebalang, melalui orang-orang bawahannya. Uleebalang juga banyak memberikan hartanya berupa uang, makanan dan juga pakaian untuk kebutuhan pasukan perang. Teuku Chik Raja Bugis dan adik perempuannya Pocut Meuligo bertindak sebagai panglima perang di Samalanga.

Kerjasama antar Uleebalang dan ulama Samalanga membuahkan hasil, pasukan Belanda berhasil diusir dari Samalanga.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa,kehidupan sosial uleebalang dan hubungan sosial uleebalang dengan masyarakat dan juga ulama. Ketiga golongan di atas saling membutuhkan satu sama lainnya. Ketika seorang uleebalang bertindak sebagai pemimpin, maka ia membutuhkan ulama sebagai bawahannya untuk memimpin mukim. Seorang ulama juga tidak dapat melaksanakan tugasnya jika tanpa persetujuan uleebalang. Masyarakat sebagai golongan yang dipimpin, memiliki hubungan sosial yang kuat dengan uleebalang dalam berbagai sisi kehidupan. Sebagian dari masyarakat menggantungkan hidupnya pada uleebalang. Mereka akan tinggal di rumah milik uleebalang, karena mereka tidak memiliki sanak saudara. Uleebalang juga akan menyewakan tanah miliknya agar digarap oleh rakyatnya kemudian ditanami padi atau tanaman-tanaman lainnya, kemudian rakyat memberikan pajak kepada uleebalang.




YT : https://youtu.be/0NlwL9TdY4A





Sumber :

http://repository.uinsu.ac.id/1672/1/Muhamaddar.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Ul%C3%A8%C3%ABbalang

https://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/43637/147050001.pdf?sequence=1&isAllowed=y


Apa itu UleeBalang, Teuku dan Cut? Apa itu UleeBalang, Teuku dan Cut? Reviewed by hifarial on 21:16:00 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.